Beranda | Artikel
Hukum Berkurban
Jumat, 3 Juli 2020

AL-UDH-HIYAH (KURBAN)

Pembahasan Keempat
Hukum Berkurban
Para ulama berbeda pendapat tentang hukum kurban menjadi  beberapa pendapat, yang paling masyhur ada dua pendapat, yaitu:

Pendapat pertama: Hukum kurban adalah sunnah muakkadah, pelakunya mendapat pahala dan yang meninggalkannya tidak berdosa. Inilah pendapat mayoritas ulama Salaf dan yang setelah mereka.

Pendapat kedua: Hukum kurban adalah wajib secara syar’i atas muslim yang mampu dan tidak musafir, dan berdosa jika tidak berkurban. Inilah pendapat Abu Hanifah dan selainnya dari para ulama.

Setiap pendapat ini berdalil dengan dalil yang telah dipaparkan dalam kitab-kitab madzhab. Pendapat yang menenangkan jiwa dan didukung dengan dalil-dalil kuat dalam pandangan saya bahwa hukum kurban adalah sunnah muakkadah, tidak wajib.

Ibnu Hazm rahimahullah berkata, “Kurban hukumnya sunnah hasanah, tidak wajib. Barangsiapa meninggalkannya tanpa kebencian terhadapnya, maka tidaklah berdosa.”[1]

Sedangkan Imam an-Nawawi rahimahullah mengatakan, “Para ulama berbeda pendapat tentang kewajiban kurban atas orang yang mampu. Sebagian besar ulama berpendapat bahwa kurban itu sunnah bagi orang yang mampu, jika tidak melakukannya tanpa udzur, maka ia tidak berdosa dan tidak harus mengqadha’nya. Ada juga pendapat yang mengatakan bahwa kurban itu wajib atas orang yang mampu.”[2]

Pembahasan Kelima
Waktu Penyembelihan
Waktu penyembelihan kurban mulai dari setelah shalat ‘Id di hari raya kurban sampai terbenam matahari pada hari terakhir Tasyriq yaitu tanggal 13 Dzulhijjah. Sehingga hari penyembelihan adalah empat hari : satu hari di hari raya kurban setelah shalat ‘Id dan tiga hari setelahnya. Barangsiapa menyembelih kurbannya sebelum selesai shalat ‘Id atau setelah terbenamnya matahari tanggal 13 Dzulhijjah, maka kurbannya tidak sah. Ada yang mengatakan bahwa waktu penyembelihan hanya dua hari setelah ‘Id saja, dan menurut pendapat ini hari penyembelihan hanya tiga hari saja. Tetapi yang rajih adalah pendapat pertama.

Dibolehkan menyembelih kurban di waktu siang atau malam, namun penyembelihan di siang hari lebih utama. Setiap hari dari hari-hari penyembelihan lebih utama dari hari setelahnya, karena mendahulukan sembelihan termasuk sikap bersegera melaksanakan ketaatan.

An-Nawawi rahimahullah berkata, “Adapun waktu berkurban, maka sepatutnya menyembelihnya setelah shalat bersama imam dan ketika itu sah secara ijma’. Ibnul Mundziri rahimahullah berkata, ‘Mereka telah berijma’ bahwa penyembelihan kurban tidak boleh dilakukan sebelum terbitnya matahari pagi hari raya kurban.’ Dan mereka berbeda pendapat pada penyembelihan setelahnya.”[3]

Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Mereka sepakat bahwa kurban disyari’atkan juga di malam hari sebagaimana disyari’atkan di siang hari, kecuali satu riwayat dari Imam Malik dan -juga- Imam Ahmad.[4]

Pembahasan Keenam
Kurban Sah untuk Berapa Orang?
Satu kurban berupa kambing cukup untuk seorang dan ahli baitnya (keluarganya) dan kaum muslimin yang ia kehendaki, baik masih hidup atau pun sudah wafat. Telah diriwayatkan bahwa ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyembelih kurbannya, beliau berkata:

اَللّهُمَّ تَقَبَّلْ عَنْ مُحَمَّدٍ وَآلِ مُحَمَّدٍ و َمِنْ أُمَّةِ مُحَمَّدٍ.

Ya Allah, terimalah dari Muhammad, keluarga Muhammad dan umat Muhammad.”

Sepertujuh unta atau sapi mencukupi dari orang yang cukup untuk satu kambing. Seandainya seorang muslim menyembelih sepertujuh unta atau sapi untuknya dan keluarganya, maka itu adalah sah, dan seandainya tujuh orang berserikat menyembelih kurban atau hadyu, satu unta atau satu sapi, maka itu pun sah.

[Disalin dari kitab Ahkaamul ‘Iidain wa ‘Asyri Dzil Hijjah, Penulis Dr. ‘Abdullah bin Muhammad bin Ahmad ath-Thayyar. Judul dalam Bahasa Indonesia Lebaran Menurut Sunnah Yang Shahih, Penerjemah Kholid Syamhudi, Lc. Penerbit Pustaka Ibnu Katsir]
_____
Footnote
[1]  Al-Muhalla (VIII/3).
[2]  Shahiih Muslim bi Syarh an-Nawawi (XIII/110) dan lihat dalil dua pendapat ini dan perdebatannya dalam Fat-hul Baari (X/3), Bidaayatul Mujtahid (I/448), Mughniyul Muhtaaj (IV/ 282), Majmuu’ al-Fataawaa (XXVI/304), al-Mughni dan Syar-hul Kabiir (XI/94) dan al-Mughni (VIII/617) dan setelahnya.
[3]  Shahiih Muslim bi syarh an-Nawawi (XIII/110).
[4]  Fat-hul Baari (X/8).


Artikel asli: https://almanhaj.or.id/18754-hukum-berkurban.html